Kamis, 06 Oktober 2011

Manfaat Teknologi Nano di Industri Kesehatan

Teknologi nano memungkinkan penggunaan dosis obat yang tidak terlalu besar.
Di dunia farmasi, teknologi nano memungkinkan penggunaan dosis obat yang tidak terlalu besar, sehingga sangat efisien dalam memanfaatkan bahan baku. (inmagine)

VIVAnews - Perkembangan industri farmasi yang menggunakan teknologi nano saat ini sudah tumbuh demikian pesat. Di dunia farmasi, teknologi nano bisa berperan dalam meningkatkan kualitas produksi dan keamanan (safety performance).

Teknologi nano sendiri merupakan teknologi yang memungkinkan sebuah benda dipecah dalam skala nanometer atau satu per semiliar meter dan merupakan salah satu teknologi yang disebut-sebut mampu mendorong pertumbuhan industri dan ekonomi di segala bidang.

“Produk berteknologi nano akan lebih cepat diserap dibandingkan produk yang tidak menggunakan teknologi tersebut,” kata Heny Rachmawati, pakar teknologi nano Institut Teknologi Bandung, pada keterangannya, 11 Maret 2011. “Sehingga, dari segi penggunaan, akan lebih efisien,” ucapnya.

Heny mengatakan, teknologi nano di bidang farmasi saat ini banyak dipergunakan untuk ekstrak obat-obatan tradisional seperti gingseng. Selain itu juga pada kandungan kosmetik, misalnya untuk krim tabir surya.

Ginseng yang menggunakan teknologi nano mampu lebih cepat diserap tubuh dan menjadikan kandungan "ginsenosides" (kandungan persentase ginseng untuk menghasilkan stamina) yang lebih tinggi dibandingkan gingseng lainnya.

“Teknologi nano dapat digunakan dalam dunia farmasi karena akan membantu kelarutan, stabilitas, dan kemapuan penyerapan,” kata Heny. “Dalam dunia farmasi, seluruh persyaratan itu harus dipenuhi."

Terkadang, kata Heny, senyawa obat tertentu mengalami kesulitan untuk larut dan melakukan penetrasi. Untuk kondisi yang demikian, teknologi nano dapat mengambil peran. Contoh lain adalah kandungan kalsium dalam susu yang juga harus dibuat menggunakan teknologi nano agar dapat efektif terserap ke dalam tulang.

Saat ini, teknologi nano banyak dikembangkan oleh sektor industri mengingat untuk memproduksinya bukan hal mudah membutuhkan keahlian, evaluasi modifikasi sehingga sampai ke skala nano.

BP POM sendiri, kata Heny, sangat ketat dalam melakukan pengawasan terhadap produk yang menggunakan teknologi nano. “BP POM perlu memeriksa apakah teknologi itu benar diterapkan dalam suatu produk,” kata Heny. “Jangan sampai publikasinya nano tapi kenyataannya tidak,” ucapnya.

Di Indonesia, teknologi nano sendiri baru berkembang sekitar lima tahun terakhir. Padahal, di luar negeri teknologi ini sudah berkembang sejak 10 tahun yang lalu (tahun 1990 an). “Kalau Indonesia tidak memperdalam teknologi nano, maka industri kita termasuk yang tertinggal,” ucapnya.

Di dunia farmasi, Heny menyebutkan, teknologi nano memungkinkan penggunaan dosis obat yang tidak terlalu besar, sehingga sangat efisien dalam memanfaatkan bahan baku.
• VIVAnews

Peneliti Pakai Matahari untuk Bersihkan Air

Saat terkena sinar, lapisan titanium dioxide melepaskan elektron yang memecah polutan.
 
Sinar matahari bisa dimanfaatkan untuk membersihkan air dari limbah. (wikimedia.org)

VIVAnews - Tingginya energi dan biaya untuk membersihkan air dari limbah berbahaya merupakan tantangan terbesar sampai saat ini. Meski demikian, hal ini kemungkinan akan dapat diatasi di masa depan.

Menurut laporan yang dimuat di jurnal Biomicrofluidics, diterbitkan oleh American Institute of Physics, sebuah sistem yang mengombinasikan dua teknologi yang berbeda telah ditemukan.

Sistem itu akan memecah polutan menggunakan sumber energi paling murah yang ada di dunia, yakni sinar matahari.

Caranya, microfuidics – mentransportasikan air melalui kanal-kanal kecil – dan photocatalyisis – menggunakan cahaya untuk memecah ketidakmurnian – digabungkan dengan metode optofluidics.

“Selama ini kedua teknologi tersebut telah dikembangkan secara paralel, akan tetapi baru sedikit upaya yang dilakukan untuk memanfaatkan sinergi di antara keduanya,” kata Xuming Zhang, peneliti dari Hong Kong Polytechnic University, seperti dikutip dari ScienceDaily, 20 Januari 2011.

Dari pengujian, kata Zhang, terlihat ada peningkatan secara dramatis dari sisi efisiensi photocatalyst.

Pada uji coba, peneliti membuat reaktor microfluidic atau microreactor yang terdiri dari tabung persegi panjang yang memiliki dua pelat kaca yang dilapisi oleh titanium dioxide yang merupakan bahan aktif pada krim pelindung kulit dari sinar matahari.

Ketika terkena sinar matahari, lapisan itu melepaskan elektron yang bereaksi dengan polutan di air dan kemudian memecah mereka menjadi zat yang tidak berbahaya. Ini merupakan bagian photocatalysis dari proses tersebut.

Kawasan permukaan tinggi di microreactor meningkatkan kemampuan catalyst itu untuk menangkap sinar matahari. Meski jarak di antara pelat itu kecil, Zhang berencana untuk memperlebar dimensi persegi panjang tersebut menjadi dua meter.

“Uji coba skala kecil ini telah membuktikan konsep yang kami buat akan tetapi kami juga akan memperbesar skala reaktor itu hingga dapat mengalirkan 1.000 liter air per jam,” ucapnya.

Jika reaktor yang lebih besar terbukti efektif, kata Zhang, sejumlah perangkat yang disusun secara paralel bisa digunakan untuk menangani pembersihan air di instalasi industri.
• VIVAnews

Ditemukan, Lem Khusus Luar Angkasa

Zat yang ditemukan justru semakin menempel erat dalam kondisi yang semakin kering.
Berbeda dengan lem biasa yang menjadi rapuh dan retak saat kondisi mengering, zat yang ditemukan ini justru malah semakin menempel dengan erat. (AP Photo)

VIVAnews - Sebuah zat perekat baru dengan bahan yang unik ditemukan. Zat ini bisa membuat benda menempel lebih mudah di luar angkasa. Meski tidak sekuat lem lain yang biasa ditemukan di supermarket, namun ia punya sifat lengket yang unik, khususnya ketika digunakan di lingkungan kering seperti di luar angkasa.

Di ruang angkasa, astronot dapat memanfaatkan lem baru ini misalnya untuk mengganti keramik yang rusak di pesawat. Zat ini juga bisa dimanfaatkan sebagai pemicu saat dipasang di perangkat pendeteksi kelembaban.

Sebagai bahan, lem itu menggunakan peptide – serangkaian asam amino yang umumnya ditemukan di tubuh – yang menjadi semakin lengket saat pH mencapai level 9. Seperti diketahui, skala pH digunakan untuk mengukur seberapa tinggi tingkat keasaman sebuah substansi dengan skala 0 (sangat asam) hingga 14 untuk tingkat terendah.

“Cara kerja peptide ini adalah saat pH dinaikkan, ia akan membentuk jaringan yang panjang. Jaringan-jaringan itu kemudian saling menjerat,” kata John Tomich, seorang profesor dari Kansas State University, yang menemukan bahan perekat tersebut, seperti dikutip dari Space.com, 30 Maret 2011. “Jika Anda lihat, benda ini tampak seperti spaghetti,” ucapnya.

Tomich menyebutkan, jaringan itu akan membentuk dan jika ia berada di permukaan yang keras, ia akan menangkap ujung dan lubang dari apapun bahan permukaan itu. “Lem umumnya menjadi rapuh dan retak saat kelembaban hilang, akan tetapi zat ini malah semakin lengket,” ucapnya.

“Zat ini juga bisa dimanfaatkan sebagai alat pemicu pada perangkat pendeteksi kelembaban,” ucap Tomich. “Cukup pasangkan zat ini pada sirkuit atau semacamnya. Dan ketika kelembaban mencapai level tertentu, zat ini akan rusak dan mengaktifkan sirkuit yang menghidupkan alarm,” ucapnya.

Jika ada peminat, lem tersebut sudah siap diproduksi secara massal. (umi)
• VIVAnews

Ilmuwan Inggris Ciptakan Alat Bantu Bicara

Peneliti memasang magnet di dalam mulut dan di lidah serta menggunakan sensor eksternal.

Peneliti memasang magnet di dalam mulut dan di lidah serta menggunakan sensor eksternal untuk mendeteksi perubahan pada medan magnet. Perubahan ini diterjemahkan ke dalam rangkaian kata. (orl.nl)

VIVAnews - Sekelompok peneliti asal Inggris mengembangkan alat bantu bicara. Dengan alat ini, orang yang larynx, atau pangkal tenggorokannya diangkat, baik akibat kanker ataupun cidera, bisa kembali berbicara.

Sebagai informasi, saat ini, orang yang larynx-nya diangkat akan diberi katup di tenggorokannya untuk mengalihkan udara dari paru-paru ke esophagus atau kerongkongan. Namun, katup ini menjadi usang setelah digunakan dan harus diganti setiap beberapa bulan.

Kini, para peneliti menemukan alat penggantinya yang sekaligus bisa mendeteksi dan menerjemahkan pergerakan wajah saat seseorang berusaha untuk mengucapkan sebuah kata.

“Kami berhasil mengambil informasi dari bagaimana mereka menggerakkan bibir, gigi dan lidah. Dari informasi itu, kami merekonstruksi ucapan mereka,” kata Phil Green, peneliti dari University of Sheffield, Inggris, seperti dikutip dari MedIndia, 26 April 2011.

Perangkat itu sendiri menggunakan magnet kecil yang ditempatkan di dalam mulut serta di lidah untuk membentuk sebuah medan magnet. Sensor kemudian dipasang di perangkat headset eksternal untuk mendeteksi perubahan yang terjadi pada medan magnet di dalam mulut saat pasien berusaha mengucapkan kalimat. “Sejauh ini, sistem yang kami buat memang baru mengenali hanya sekitar 50 kata saja,” ucap Green.

Namun demikian, penambahan perbendaharaan kata bukan menjadi target berikutnya para peneliti. “Rencana yang akan dilakukan berikutnya adalah mengembangkan magnet yang bisa dipasang di dalam lidah,” kata James Gilbert, ketua tim peneliti yang berasal dari University of Hull.

Selain itu, Gilbert menyebutkan, timnya juga menargetkan untuk mengurangi ukuran headset yang digunakan sekecil mungkin. Kemungkinan sebesar perangkat Bluetooth saja.
• VIVAnews

Jepang Temukan Mineral Baru Untuk iPad

Mineral rare earth itu ditemukan di dasar laut di Samudera Pasifik.
                                                       iPad (AP Photo/Marcio Jose Sanchez)

VIVAnews - Peneliti Jepang telah menemukan sejumlah mineral "langka", yang dapat digunakan untuk membuat produk  elektronik. Mineral nadir bumi (rare earth) itu antara lain untuk digunakan dalam pembuatan telepon pintar (smartphones), komputer tablet semacam iPad, dan televisi layar datar.

Mineral itu bisa ditemukan  di dasar Lautan Pasifik di  sekitar Hawaii, Amerika  Serikat. Bahkan, dengan  mudahnya mineral itu diekstrasi. Temuan ini sekaligus menambah pengetahuan akan fungsi mineral itu, namun sekaligus mengancam persediaannya.

"Kandungan mineral itu memiliki konsentrasi berat yang langka. Hanya per satu kilometer persegi dari kandungan itu bisa menyediakan seperlima dari konsumsi global secara tahunan (untuk digunakan di barang elektronik)," kata Yasuhiro Kato, asisten profesor di bidang ilmu bumi Universitas Tokyo, seperti dikutip dari The Guardian.

Temuan yang berhasil dilakukan tim yang dipimpin Kato ini bisa memiliki dampak untuk produksi barang elektronik yang membutuhkan mineral langka, seperti tantalum dan yttrium. Karena selama ini mineral tanah sebagian besar ada di China, yang menyediakan sekitar 97 persen dari suplai global.

Penelitian terbaru yang dimuat di jurnal Nature Geoscience itu menemukan mineral itu tersembunyi di lumpur di dasar laut itu dapat diekstrasi di kedalaman 3.500 hingga 6.000 meter, di 78 lokasi. Sepertiga dari lokasi tersebut, kata Kato, memiliki kekayaan kandungan mineral langka itu dan metal yttrium.

Kato menjelaskan, kandungan mineral nadir bumi itu bisa ditemukan membentang sepanjang timur hingga barat Hawaaii. Selain itu, bisa juga ditemukan di sebelah timur Tahiti di Polinesia, Perancis.

Kato memerkirakan mineral nadir bumi itu terkandung sebanyak 80 hingga 100 miliar ton. Dibandingkan dengan persediaan global yang ditemukan US Geological Survey, baru 110 juta ton yang ditemukan, antara lain di China, Rusia, negara bekas Uni Soviet, dan Amerika Serikat.

Penggunaan mineral nadir bumi untuk produksi barang elektronik berteknologi tinggi, magnet, dan baterai menyebabkan banyaknya kegiatan pertambangan mineral itu dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Kato, lumpur laut yang ditemukan memang kaya mineral nadir bumi lain, seperti gadolinium, lutetium, terbium, dan dysporsium.

"Ini biasa digunakan dalam pembuatan televisi layar datar, juga LED (light-emmiting dioda) dan mobil hibdrida," jelas Kato. (umi)
• VIVAnews

Protein dan Air Dapat Menyimpan Gas Hidrogen


Memasukkan elektron dalam ikatan kimia adalah salah satu cara untuk menyimpan energi listrik, yang sangat penting bagi sumber energi terbarukan dan berkelanjutan seperti tenaga surya atau angin. (newlaunches.com)

VIVAnews - Para peneliti yang terinspirasi oleh alam telah menggunakan protein biasa untuk mendesain bahan yang dapat menyimpan energi gas hidrogen. Bahan sintetis ini bekerja 10 kali lebih cepat daripada protein asli yang ditemukan dalam air tempat tinggal mikroba.

Penelitian ini hanyalah salah satu bagian dari serangkaian upaya untuk memisahkan air dan membuat gas hidrogen. Namun peneliti menunjukkan hasilnya bahwa mereka bisa belajar dari alam seputar bagaimana mengontrol reaksi-reaksi untuk membuat katalis sintetik tahan lama untuk penyimpanan energi, seperti di sel bahan bakar.

Selain protein alami dan enzim, peneliti menggunakan logam yang tersedia banyak dan murah dalam desain tersebut. Saat ini, bahan-bahan itu - yang disebut katalis karena mereka memacu reaksi bersama - bergantung pada logam mahal seperti platinum.

“Katalis berbasis nikel sangat cepat,” kata Morris Bullock, peneliti dari Departemen Energi Pacific Northwest National Laboratory, seperti dikutip dari Science Daily, 16 Agustus 2011. “Ini sekitar seratus kali lebih cepat dari rekor sebelumnya dan katalis dari alam. Kini kita tahu itu bisa dilakukan dengan nikel yang melimpah dan murah atau besi," ucapnya.

Seperti diketahui, energi listrik tidak lebih daripada elektron yang mengikat atom bersama-sama ketika mereka terikat secara kimia satu sama lain dalam molekul seperti gas hidrogen.

Memasukkan elektron dalam ikatan kimia adalah salah satu cara untuk menyimpan energi listrik, yang sangat penting bagi sumber energi terbarukan dan berkelanjutan seperti tenaga surya atau angin.

Mengubah ikatan kimia yang mengalir kembali ke listrik ketika matahari tidak bersinar atau angin tidak bertiup memungkinkan penggunaan energi yang tersimpan, misalnya di dalam sel bahan bakar yang berjalan pada hidrogen.

Elektron sering disimpan dalam baterai, namun Bullock dan koleganya ingin mengambil keuntungan dari kemasan tertutup yang tersedia dalam bahan kimia.

"Kami ingin menyimpan energi sepadat mungkin. Ikatan kimia dapat menyimpan sejumlah energi besar dalam ruang fisik yang kecil," kata Bullock.

Biologi menyimpan energi padat sepanjang waktu. Tanaman menggunakan fotosintesis untuk menyimpan energi matahari dalam ikatan kimia, yang digunakan orang ketika mereka makan makanan. Dan sebuah mikroba umumnya menyimpan energi dalam ikatan gas hidrogen dengan bantuan protein disebut sebuah Hidrogenasi.

Karena hidrogenasi ditemukan dalam alam tidak bertahan lama seperti yang lainnya yang dibangun dari bahan kimia yang lebih keras (kertas vs plastik), para peneliti ingin menarik keluar bagian aktif dari Hidrogenasi Biologis dan mendesain ulang dengan dasar kimia yang stabil.

Dalam studi ini, para peneliti melihat hanya satu bagian kecil dari pemisahan air menjadi gas hidrogen, seperti proses yang cepat ke akhir sebuah film. Dari banyak langkah, ada bagian di akhir ketika katalis telah memegang dua atom hidrogen yang telah diambil dari air dan terkunci bersamaan.

Katalis melakukan hal ini dengan benar-benar membongkar beberapa atom hidrogen dari sumber seperti air dan memindahkan ke sekitar potongan. Karena kemudahan atom hidrogen, potongan-potongan ini adalah proton bermuatan positif dan elektron bermuatan negatif. Katalis mengatur potongan-potongan ini dalam posisi yang tepat sehingga mereka dapat disatukan dengan benar. "Dua ditambah dua elektron sama dengan satu molekul gas hidrogen," kata Bullock.

Dalam kehidupan nyata, proton akan muncul dari air, tetapi karena tim hanya memeriksa sebagian dari reaksi, para peneliti menggunakan air yang mengalir seperti asam untuk menguji katalis mereka.

"Kami melihat hidrogenasi dan bertanya apa yang bagian penting dari ini?" kata Bullock. "Hidrogenasi menggerakkan proton di dalam apa yang kita sebut proton yang dikembalikan. Kemana Proton pergi, elektron akan mengikutinya," katanya

Pengujian katalis dipangkas, tim menemukan itu menjadi jauh lebih baik daripada yang diduga. Pada awalnya mereka menggunakan kondisi di mana tidak ada air seperti sekarang (ingat, mereka menggunakan air stand-in), dan katalis dapat menciptakan gas hidrogen pada laju sekitar 33.000 molekul per detik. Itu jauh lebih cepat daripada inspirasi alami mereka, yang melaju sekitar 10.000 per detik.

Namun, sebagian besar penerapan dalam kehidupan nyata akan memiliki air, sehingga mereka menambahkan air untuk melihat bagaimana reaksi itu akan terbentuk. Katalis berlari tiga kali lebih cepat, menciptakan lebih dari 100.000 molekul hidrogen setiap detik. Para peneliti berpikir air bisa membantu dengan menggerakkan proton ke tempat yang lebih menguntungkan pada amina liontin, namun mereka masih mempelajari rincian.

Namun katalis mereka memiliki kelemahan. Ini cepat, tapi itu tidak efisien. Katalis berjalan pada listrik - setelah semua, perlu elektron untuk memindahkan barang-barang mereka ke dalam ikatan kimia - tetapi membutuhkan listrik lebih praktis, sebuah karakteristik yang disebut overpotensial.

Bullock mengatakan tim telah mempunyai beberapa ide tentang bagaimana mengurangi inefisiensi. Dan pekerjaan di masa depan akan memerlukan perakitan katalis yang membagi air selain membuat gas hidrogen. Bahkan dengan overpotensial yang tinggi, para peneliti melihat potensi tinggi untuk katalis ini. (eh)
• VIVAnews

Hadapi Tsunami, Jepang Ciptakan 'Bahtera Nuh'

Cosmo Power mengembangkan versi modern dari 'perahu Nabi Nuh'. Seperti apa?
                                   Ilustrasi perahu Nabi Nuh (www.maritimequest.com)

VIVAnews -- Sekitar 4.000 tahun lalu, banjir besar melanda Bumi. Sebelum bencana mahadahsyat itu terjadi, wahyu turun pada Nabi Nuh. Ia diperintahkan membuat perahu besar, untuk menyelamatkan manusia dan mahluk hidup lainnya.

Seperti dimuat FOXnews, Jumat 30 September 2011, kisah itu menginspirasi sebuah perusahaan kecil di Jepang -- negara yang langganan dilanda tsunami.

Perusahaan bernama Cosmo Power mengembangkan versi modern dari 'perahu Nabi Nuh', jika bencana gempa dahsyat dan tsunami kembali menerjang Negeri Sakura.

Jangan bayangkan kapal besar yang bisa menampung ribuan manusia dan para hewan sekaligus. Yang ini adalah versi miniaturnya. Kapsul yang dikembangkan Cosmo Power berbentuk bulat, berwarna kuning, mirip bola tenis besar.

Menurut Cosmo Power, kapsul ini dibuat dari bahan fiber glass yang disempurnakan, yang bisa menyelamatkan penggunanya dari bencana -- seperti yang melanda Jepang 11 Maret 2011 lalu. Kala itu, tsunami menerjang Pantai Utara Jepang, menyebabkan hampir 20.000 orang tewas atau hilang. Gempa dan tsunami juga menyebabkan reaktor nuklir Fukushima bocor. Jepang menghadapi musibah nuklir terbesar pasca Perang Dunia II.

Direktur Cosmo Power, Shoji Tanaka mengatakan, kapsul tersebut bisa menampung empat orang dewasa. Ia mengklaim 'perahu Nabi Nuh' ciptaannya ini telah lolos uji kecelakaan. Shelter berbentuk bulat ini memiliki lubang pernafasan di atas. Jika tak ada bencana, kapsul ini juga memiliki fungsi: rumah mainan untuk anak-anak.

Cosmo telah mulai memproduksi kapsul tersebut awal bulan ini. Sudah ada 600 pesanan yang masuk ke perusahaan, termasuk dua yang telah diantar. Penasaran dengan bentuk 'perahu Nabi Nuh' versi Jepang? Lihat.

Versi yang dibuat Cosmo Power jauh lebih sederhana daripada produk Perusahaan Vivos, yang berbasis di Kota Del Mar (California). Perusahaan itu membuat bunker untuk menghadapi 'Hari Kiamat' yang terletak di bawah gurun Mojave, bunker itu dirancang untuk membuat penghuni aman dari serangan nuklir dan bencana alam sekaligus membuat mereka tetap nyaman, seperti tinggal di rumah.

Kompleks 'bunker kiamat' itu dilengkapi berbagai fasilitas, mulai dari atrium, tempat fitness, hingga penjara. Setiap bunker akan dilengkapi dengan televisi layar datar, dapur, hingga mesin cuci.
• VIVAnews