Rabu, 14 September 2011

Lima fakta sushi tak selalu sehat


Penting diketahui, agar Anda lebih bijak saat mengonsumsi sushi.



sushi (corbis)


VIVAnews - Sushi telah jadi makanan yang populer di dunia. Perpaduan beras ketan, nori, dan ikan ini memang sangat memanjakan lidah. Banyak juga yang berpendapat, sushi merupakan makanan sehat.

Ternyata, pendapat itu tak selalu benar. Seperti dilansir dari Daily Mail, Louise Sutton, ahli nutrisi dari Leeds Metropolitan University, mengungkap lima buktinya. Penting diketahui, agar Anda lebih bijak saat mengonsumsi sushi.

1. Kolesterol
Telur ikan cod warna orange yang sering jadi topping sushi memang kaya akan asam lemak omega 3. Kandungan ini juga bisa melindungi Anda dari penyakit jantung.

Namun, yang perlu Anda tahu, telur ikan ini juga tinggi kandungan kolesterol. Sebaiknya, jangan mengonsumsi dalam jumlah yang banyak atau level kolesterol dalam darah Anda dapat meningkat drastis.

2. Garam
Kadar garam dalam sushi memang rendah. Tetapi kandungan garam pada soya atau kecap asin yang dijadikan pelengkap makan sushi, sangat tinggi.

Satu sachet soya, mengandung 1 gram garam, dan asupan maksimum garam per hari adalah 6 gram.Terbuat dari kacang kedelai yang fermentasi, soya harus dihindari oleh Anda yang mengalami masalah darah tinggi.

3. Cacing gelang
Dua penelitian yang dipresentasikan dalam American College of Gastroenterology melaporkan kenaikan kasus infeksi anisakiasis (cacing gelang) yang disebabkan konsumsi makanan laut mentah dalam bentuk sushi. Ketika ditelan oleh manusia, larva cacing gelang menempel pada jaringan selaput lambung dan usus.

Hal ini mengakibatkan sakit perut secara tiba-tiba, mual dan diare. Cacing gelang juga bisa kontak melalui kucing dan anjing. Menurut National Health Service (NHS), Inggris, ikan mentah harus dibekukan dalam suhu minus 20 derajat celcius, setidaknya selama 24 jam. Cara ini bisa mematikan larva-larva cacing gelang.

4. Merkuri
Tahun lalu, sebuah penelitian dalam British Journal Biology Letters mengungkap bahwa ikan tuna pada sushi di berbagai restoran dan supermarket di Amerika Serikat memiliki tingkat merkuri melebihi dari yang ditetapkan badan pengawas kesehatan. Paparan merkuri yang berlebihan berhubungan dengan risiko cacat saraf, termasuk cerebral palsy, tuli dan kebutaan. Wanita hamil disarankan untuk membatasi atau menghindari konsumsi ikan tertentu, termasuk ikan tuna mentah selama kehamilan.

5. Bakteri
Salah satu bakteri yang paling banyak ditemukan pada sushi adalah staphylococcus aureus. Pemicunya lebih sering karena bakteri itu terdapat pada beras ketan yang dijadikan bahan utama sushi daripada ikan mentah.

Jika beras tidak didinginkan segera setelah itu dibuat, maka bakteri akan muncul pada bagian permukaan. Membiarkannya pada suhu kamar, akan meningkatkan risiko timbulnya racun yang lebih banyak. Pastikan Anda mengonsumsi sushi yang memang baru saja dibuat.



• VIVAnews

semut tidak pernah tersesat pulang ke sarang

Perjalanan pulang lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan saat mereka mencari makan.

SENIN, 12 SEPTEMBER 2011, 17:15 WIB

Perjalanan pulang jauh lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan saat mereka mencari makan. Selain itu, semut hitam kadang mengeroyok semut merah dan mencuri makanan yang dimiliki. (dailymail.co.uk)
VIVAnews - Rasa penasaran dengan perilaku semut membuat Anggie Arivia Tanu, siswi SD Kristen Penabur 6 Bandung, ingin mengetahui bagaimana semut selalu bisa pulang setelah jauh mencari makanan. Hal ini kemudian ia tanyakan pada gurunya. 

Melihat antusiasme Anggie, sang guru mengajaknya untuk mengamati perilaku semut.

“Saya mendampingi Anggie untuk mengamati perilaku semut,” ujar Winardi, guru pembimbingnya. Dengan memberi remah-remah kue sebagai umpan, selama satu minggu mereka menghitung waktu setiap semut yang pergi mencari makan dan pulang. 

Dari pengamatan awal tersebut, ada hal yang menarik untuk dicatat bahwa semut selalu pulang lebih cepat ke sarang daripada saat mereka mencari makan.   

Anggie kemudian mendapatkan ide untuk memberi penghalang bagi semut yang mencari makanan. “Selama ini perilaku semut saat berjalan saling antre berurutan. Saat diberi penghalang, semut memang kebingungan, dan berusaha mencari makanan yang ada di dekatnya,” ujar Anggie pada VIVAnews, 12 September 2011.

Hasil pencatatan waktu dengan stopwatch kemudian memperkuat fakta bahwa semut lebih cepat kembali ke sarangnya meski diberi penghalang.

Jika tidak diberi penghalang, Anggie mencatat, dalam 3 kali pengamatan, waktu yang dibutuhkan yaitu 20 detik menuju umpan, pulang 13 detik. Pengamatan kedua, 22 detik ke umpan, pulang 12 detik. Pengamatan ketiga, menuju umpan 27 detik, pulang 24 detik.

Jika diberi penghalang, tercatat pengamatan pertama, menuju umpan 49 detik, pulang 39 detik (tidak membawa makanan). Pengamatan kedua, 24 detik menuju umpan, pulang 15 detik. Dan terakhir, menuju umpan 1 menit, pulang 1 menit 59 detik.

“Ada kejadian menarik saat percobaan diberi penghalang. Semut hitam mencari jalan memutar dan mencari makanan yang dipunyai oleh semut merah,” kata Winardi, guru pendamping Anggie. Semut merah akhirnya dikeroyok, semut hitam mencuri makanan semut merah. “Di sini berlaku hukum alam, siapa yang kuat dia yang menang,” ujarnya.
Berkat penelitiannya ini, Anggie masuk dalam 9 besar bocah yang menjuarai Junior Science Award 2011 yang juri-jurinya berasal dari LIPI. (umi)
• VIVAnews